Senin, 11 Maret 2013

Big Data, Aset Strategis Nasional Yang Dilupakan

Big Data - Complexity, Speed and Volume
Aku pikir, Pemerintah Indonesia perlu mengutamakan nilai strategis Big Data sebagai Aset Nasional dan melindunginya untuk kepentingan bangsa kita, karena Indonesia, negara dengan populasi 237 juta orang multi-etnis dan wilayah kepulauan seluas 1.9 juta km2, adalah salah satu produsen Big Data terbesar di dunia. Kok bisa begitu? Silahkan lihat uraianku berikut ini.

Istilah Big Data mengacu pada sekumpulan data, baik terstruktur maupun tidak, yang:
  1. sangat besar ukurannya (volume)
  2. sangat cepat perubahannya (speed), dan
  3. sangat rumit variasi serta hubungannya (complex).
Karena tiga sifatnya ini, Big Data tidak dapat dikelola secara tradisional dengan aplikasi database dan statistika yang dikenal selama ini. Pengolahan Big Data memerlukan sistem dan teknologi khusus yang baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Siapapun yang mampu mengolah Big Data, akan mampu untuk mengurai keterkaitan informasi di dalamnya secara multi-facet dan menuai manfaat darinya.

Big Data =
data yang banyak, berubah-ubah dan bervariasi

Coba bayangkan ilustrasi ini. Sekumpulan akun Facebook memuat informasi perorangan, seperti nama, alamat email, nomor telepon, teman-teman, foto dan lainnya. Dari alamat email yang digunakan, dapat dihubungkan aktifitas dunia maya perorangan di akun-akun aplikasi jejaring sosial lainnya, seperti Twitter, LinkedIn, Kaskus dan sebagainya. Dari nomor telepon di akun Facebook dapat dicari informasi tentang orang tersebut dari penyedia layanan telepon, seperti penggunaan telepon, nomor-nomor yang dihubungi, alamat, nomor KTP atau passport, NPWP dan sebagainya. Dari foto-foto dapat diperoleh informasi lokasi yang pernah dikunjungi orang tersebut, dan daftar teman-teman serta aktifitas Wall di Facebook akan menghasilkan data tentang perilaku sosial orang tersebut. Selanjutnya, dari nomor KTP atau NPWP dapat diperoleh informasi finansial, bank, pola belanja dan seterusnya. Gabungan semua data ini, baik yang tersedia di Facebook, Twitter, penyedia layanan telepon, bank, dan seterusnya, adalah kumpulan data multi-facet tentang individu terkait yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Kumpulan data ini selalu berkembang, berubah dan bervariasi setiap saat. Inilah bentuk Big Data dalam kehidupan sehari-hari. Yang menarik di sini adalah: perkembangan, perubahan dan variasi tersebut terjadi dengan sendirinya secara alami. Dalam ilustrasi di atas, pengguna Facebook secara sadar dan sukarela menyerahkan informasi penting tentang dirinya pada pihak lain dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, Big Data telah melampaui kapasitas survei dan studi tradisional, bila ditinjau dari segi cakupan dan terbaruinya informasi.

Di mana kumpulan data tersebut berada dan siapa yang berhak atas kepemilikannya? Aku tidak tahu pasti di mana dan siapa, tapi kumpulan data tersebut pasti tidak berada dalam wilayah kedaulatan Repulik Indonesia dan negara kita tidak memiliki hak apapun terhadap data tersebut. Aku juga menilai, upaya menuju ke arah penempatan dan kepemilikan informasi di wilayah Indonesia masih jauh dari kenyataan. Bila kita tinjau lagi ilustrasi di atas, Facebook dan berbagai penyedia layanan adalah penyimpan serta pengelola sah kumpulan data perorangan, termasuk data orang-orang yang tinggal di wilayah negara ini. Keberadaan dan kepemilikan informasi strategis ini telah menantang kedaulatan republik ini.

Selain sebagai Aset Strategis Nasional, Big Data juga adalah Sumber Daya Alam baru (dan selalu terbarukan) bagi Indonesia. Potensi devisa yang dapat dihasilkannya tak ternilai jumlahnya. Silahkan timbang, berapa devisa yang dapat diperoleh dari produsen-produsen produk untuk informasi konsumen dan pola konsumerisme yang lengkap di suatu wilayah.

Kita tidak perlu bicarakan dulu tentang bagaimana sumber daya lokal dapat mengolah dan memanfaatkan Big Data. Indonesia saat ini hanyalah produsen Big Data yang aktif di dunia, tanpa perduli akan hak kepemilikannya. Penjajahan masih terjadi pada bangsa Indonesia melalui teknologi informasi, dan aku masih tetap berprofesi sebagai kuli di industri ini.